Rabu, 05 Januari 2011

Joki Narapidana

CERPEN
Sejak kabar tentang perjokian narapidana terkuak di berbagai media massa, pikiranku selalu mengajak-ajak untuk melakukan bunuh diri. Melompat dari lantai 16, apartemen mewah tempat tinggalku. Dengan kematianku aku berharap dapat menutupi segala tindakanku yang telah mempermainkan hukum. Sebab, seperti Kasiyem, sebagai calon terpidana aku pun telah menyusun skenario semacam itu.


Bedanya, jika Kasiyem terlibat perkara hukum karena berdagang pupuk subsidi, sedangkan aku bandar narkoba. Jika dibandingkan, nilai perbuatan Kasiyem masih tergolong baik, karena ia justru membantu kalangan petani di Bojonegoro yang kesulitan mendapatkan pupuk. Kalau perbuatanku justru merusak, meracuni generasi muda dengan angan-angan kosong, fatamorgana yang muncul karena efek manipulatif narkoba. 

Sejauh ini, sejak hampir sepuluh tahun aku menggeluti bisnis narkoba, sudah puluhan kali skenario perjokian itu dipraktikan. Bisnis narkoba merupakan usaha yang bergelimpangan uang. Sementara aparat penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, dan hakim, kebanyakan berperilaku korup. Dengan menggunakan pengacara langgananku, aku biasa mempermainkan hukum. Hukum di Republik ini bak komoditas dagang. Biasa dijualbelikan. KUHP (Kasih Uang Habis Perkara)!

“Sudahlah, jangan kuatir. Aku yakinkah kau, dalam skenario perjokian kita ini lebih canggih. Rapi. Satgas mafia hukum pun takkan mampu mengendusnya”, kata pengacaraku meyakinkan.

“Benar, lo. Sebab kalau kali ini sampai terbongkar, habislah aku. Jaringan bisnisku rusak. Dan, kasihan teman-teman penegak hukum yang selama ini banyak membantu kita, karirnya bakal hancur”, sahutku.

Hari ini perkaraku bakal diputus hakim. Tidak mungkin diputus bebas. Karena kasusku itu sudah menjadi berita nasional. Namaku sudah kondang di mana-mana sebagai bandar narkoba kakap yang berhasil ditangkap. Dengan penangkapan itu pun, banyak pejabat di kepolisian yang mendadak dipromosikan. “Membawa berkah juga”, pikirku, sambil tersenyum kecil.

Tanpa sadar pikiranku menerawang ketika pertama kalinya aku tertangkap. Melalui ekspos media massa aku dapat mengetahui bagaimana aparat penegak hukum memberikan apresiasi para petugas lapangan. Bahkan dalam salah satu siaran media televisi swasta, seorang pejabat kepolisian mengungkapkan bagaimana anak buahnya menolak tatkala kutawari uang sogok ratusan juta rupiah. Di bagian lain, kulihat wajahku terpampang di berbagai media massa cetak maupun eletronik, layaknya selebritis.

Dengan membayar ratusan juta ke penyidik, aku memang sempat ditahan. Tapi karena uang sogok itu, aku tidak pernah ditempatkan di sel tahanan bercampur dengan tahanan-tahanan lain. Tapi ditempatkan di Blok Klinik, yang bersih, luas, dan bebas ke mana saja. Termasuk ke luar tahanan seperti yang dilakukan Gayus, terdakwa yang mantan pegawai Dirjen Pajak itu. Aku pergi ke diskotik, cafe-cafe, atau melacur bersama-sama petugas yang mengawalku.

Sogok Hakim
Uang. Aku meyakini, ketika uang menjadi sesembahan manusia, maka uang dapat berbuat apa saja. Untuk kasusku tersebut aku sudah mengeluarkan ratusan juta rupiah. Tapi nilai itu terbilang kecil dibandingkan dengan hasil bisnis narkobaku yang tetap terus berlangsung meski aku berada di sel tahanan. Termasuk ketika berkas perkaraku dilimpahkan ke kejaksaan. Semuanya hanya sandiwara!

Di kejaksaan aku disambut layaknya Bos Besar. Jangankan petugas piket, kepala kejaksaan negeri pun membungkuk-bungkuk memberi hormat tatkala aku datang bersama penyidik yang memeriksaku. Dan, di tingkat penuntutan itulah aku menerima surat perintah penahanan lanjutan dari kejaksaan, tapi tidak pernah di sel tahanan. Karena surat perintahan lanjutan itu hanya formalitas alias awu-awu. Sehingga surat itu hanya menjadi penghuni laci.

Tak sampai seminggu, perkaraku sudah dikirimkan ke pengadilan. Dalam sidang pertama, di muka sidang majelis hakim tidak pernah menanyakan status penahananku. Ketiga anggota hakim majelis seolah tutup mata. Bahkan jadwal pemeriksaannya pun dilakukan pagi hari, ketika aktivitas dan pengunjung sidang belum ramai. Menurut ketua majelis hakim, persidangan pagi hari itu sengaja dilakukan untuk menghindari pers.

Tak sampai dua jam aku menunggu, persidangan pun dimulai. Menurut majelis hakim, aku dinyatakan bersalah dan dihukum dua tahun enam bulan. Aku tak terkejut. Tapi di muka sidang wajahku harus kubuat seolah-olah bersedih. Menundukan muka di hadapan majelis hakim yang “kotor” itu, agar sandiwara mafia hukum itu tidak terkuak. Yang pasti, putusan hakim tersebut nantinya akan dipalsukan. Kerja bersama antara majelis hakim, bagian kepaniteraan, dan kejaksaan. Persis dengan yang dilakukan oknum-oknum Pengadilan Negeri Medan dan Kejaksaan Negeri Medan, yang memalsukan sekitar lima puluh vonis hakim yang terkuak pada Oktober 2008 lalu.

1 komentar:

  1. pak mono..saya suka tulisan'' foksi bapak..

    pak saya boleh tanya..
    apakah ini tulisan fiksi atau kah jurnalistik sastra???

    saya sedang tertarik dengan genre itu pak..

    makasih..

    BalasHapus