Senin, 03 Januari 2011

“Sang Komandan”

CERPEN

Akibat terlalu banyak minum, lelaki berperut tambun yang tengah duduk bersebelahan dengan pramusaji cantik bernama Evi itu, akhirnya tak kuat dan ambruk ke lantai cafe di sebuah hotel. Evi, wanita bertubuh sintal yang selalu menjadi primadona dan banyak digandrungi pria-pria hidung belang itu pun kelabakan. Bingung. Takut. Sebab ia tahu persis lelaki yang ambruk itu bukan orang sembarangan. Ia seorang perwira polisi, yang lebih dikenal dengan panggilan “Sang Komandan”

Belum genap pikirannya memahami peristiwa yang barusan terjadi, seorang lelaki lain bertubuh gempal dan berambut cepak tiba-tiba menyeruak, menorobos di antara gerombolan orang yang mencoba menolong “Sang Komandan”. Bukan malah menolong, lelaki itu justru membidikan pistol yang ia keluarkan dari balik jaket kulitnya. Sesaat kemudian, dor! Sang “Sang Komandan” pun tewas seketika dengan sebuah lubang kecil dijidatnya. Pengunjung cafe bubar. Berlarian. Ketakutan. Dan, lelaki itu pun menghilang bak di telan bumi.

Evi hanya bisa melotot. Melongo. Tidak tahu harus bertindak apa. Tubuhnya bergetar hebat. Kedua kakinya tak mampu lagi menopang berat tubuhnya yang tinggi semampai itu. “Uuh!” Teriakan kecil itu mengiringi tubuh Evi terjerembab jatuh pingsan, tepat di sisi tubuh “Sang Komandan” yang mulai digenangi darah. Bau anyir darah dan minuman keras berhembus di antara kaki-kaki pekerja cafe yang berdiri mematung. Bengong.

“Di manakah Aku”, kata Evi tatkala siuman dari pingsannya. Tapi tak terdengar jawaban. Kekasih gelap “Sang Komandan” itu kini berada di rumah sakit milik pemerintah. Agak kabur dari sudut matanya ia dapat melihat, dirinya berada di ruang khusus di rumah sakit tersebut. Ia dapat melihat ada dua orang lelaki berpakaian dinas, lengkap dengan revolver di pinggangnya, tengah menjaga dan mengawasinya. 

Dalam kesendiriannya itu, pikiran Evi mulai menerawang jauh. Jauh sekali, dimulai ketika dirinya berkenalan dengan “Sang Komandan” empat tahun lalu. Saat itu ia tengah mendampingi anaknya di sekolah untuk sebuah acara. Sedangkan “Sang Komandan” hadir pada acara tersebut, karena ditunjuk menjadi pelatih. Bak gayung bersambut, diawali dengan perkenalan, hubungan kedua insan berlainan jenis itu berlanjut. “Mama tidak keberatan kan dengan hubungan kita ini”, tanya “Sang Komandan” suatu ketika. Evi tak menjawab. Tapi ia membiarkan tangannya direngkuh “Sang Komandan”. Sejak itu hubungan mereka semakin erat.

Bagi janda beranak satu ini, pertemuannya dengan “Sang Komandan” merupakan berkah. Sejak ia menceraikan suaminya karena kehilangan pekerjaan, Evi bekerja sebagai pramusaji di sebuah cafe. Penghasilnya pas-pasnya. Sebab itulah ia kemudian menjadi pramusaji plus-plus. Kepada setiap orang yang menanyakan “pekerjaannya” itu, ia menjawab terpaksa melakoninya karena tidak ada penghasilan tambahan selain menjual kemolekan tubuhnya.

“Mumpung masih terlihat muda, mas”, ujar Evi suatu ketika kepada seorang pelanggannya.

Namun, sejak menjadi wanita simpanan “Sang Komandan”, ia tidak lagi menerima tamu lain. Perwira polisi yang dikecaninya itu sering memberinya uang. Mencukupi. Bahkan lebih dari cukup. Sebab setiap kali ia menemani “Sang Komandan” tatkala bertemu dengan beberapa bandar narkoba, dirinya pasti mendapatkan bonus. Sesekali ia nyambi menjadi pengedar narkoba untuk orang-orang tertentu yang dikenalnya.

Kini ia bingung. Takut kalau atasan “Sang Komandan” mengetahui segala aktivitasnya. Karena beberapa hari sebelum peristiwa penembakan itu terjadi, ia bersama “Sang Komandan” sempat menemui seorang lelaki yang bermaksud minta tolong. Pria paruh baya itu mengaku ada masalah, karena anaknya ditangkap polisi akibat terjerat narkoba. Untuk pertolongan tersebut lelaki bermata sipit itu siap membayar berapa pun yang dibutuhkan, asalkan anaknya bebas.

Sejak berada di divisi narkoba “Sang Komandan” sudah mahfum dengan situasi semacam itu. Ia memang memiliki jaringan cukup kuat. Tidak hanya di kalangan polisi korup. Tapi juga dengan jaksa-jaksa korup di jajaran kejaksaan, termasuk hakim-hakim korup. Dari usaha “sampingan” itulah lelaki tambun yang seringkali tampil sok alim di acara-acara keagamaan itu menghidupi Evi, wanita simpanannya.

Meski demikian ia tidak tahu apa latar belakang lelaki berambut cepak itu membunuh “Sang Komandan”. Meski dalam hati kecilnya menegaskan bahwa dirinya tak sungguh-sungguh menyintainya, Evi tetap saja merasakan kehilangan atas kematian salah satu pacar gelapnya itu. Sebab lelaki itu adalah ATM berjalan, manakala ia butuh uang. Sedangkan untuk kebutuhan birahinya, ia merasa cukup terpuaskan dengan layanan pacar mudanya, seorang mahasiswa yang dibiayainya.

Evi mengingat-ingat, suatu kali ia pernah diajak “Sang Komandan” menemui seseorang yang dipanggil Bos Besar di rumahnya. Sebenarnya, ia seorang bandar besar narkoba. Ia tinggal di kawasan elit di tengah kota. Tamunya, kebanyakan jajaran pejabat sipil maupun militer. “Orang ini yang menentukan siapa harus menjabat apa, dan ditempatkan di mana. Bukan atasan yang bersangkutan”, ungkap “Sang Komandan” suatu kali.

“Koq bisa?”, sahutku.

“Ya, tentu. Karena para atasan atau komandan mereka, ya Bos Besar itu yang mengangkatnya. Bahkan kepala daerahnya”, kata “Sang Komandan” menjelaskan. Gila, pikirku.

Tiba-tiba lamunanku pudar. Seseorang berpakaian putih datang menghampiriku. “Dokter?”, tanyaku. Ia mengangguk. Tapi sekilas, samar-samar, daya ingatku mengatakan bahwa aku pernah bertemu dengan orang itu. “Kau...kau..yang menembak “Sang Komandan”, ya!”, kataku setengah berteriak. Ia hanya tersenyum. Kemudian lelaki berambut cepak itu menusukkan jarum suntik di lenganku. Aku memberontak. Tapi kalah kuat. Dari jauh lamat-lamat kulihat “Sang Komandan” datang menjemputku. Sudah matikah aku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar